Minggu, 24 Agustus 2008

PILIH PAKE KONTRAKTOR BADAN HUKUM APA PERORANGAN??

Pada kira-kira pertengahan bulan Juni yang lalu, saya berkomunikasi dengan salah seorang Direktur keuangan perusahaan PMA yang bergerak di bidang pengolahan Shrimp berkedudukan di Semarang. Dia berniat membangun pabrik baru di lahannya sendiri seluas 1 ha (karena pabrik yang sekarang adalah sewa) dengan nilai kontrak sebesar Rp 2 milyar dengan jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang dialokasikan selama 1 tahun. Sang Direktur Keuangan bingung mau mempergunakan jasa kontraktor perseorangan non PKP dan NPWP yang kebetulan adalah temannya ataukah mempergunakan kontraktor berbentuk badan hukum? Pada saat berkomunikasi dengan saya, dia meminta pendapat dari sisi perpajakan, apa yang sebaiknya dia pilih sebagai kontraktornya. Kalo pengusaha yang bertanya tentang pajak, pasti pengennya beban pajak yang paling minimal.

Sebenarnya keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saya akan membahas pajak-pajak apa saja yang akan terutang pada masing-masing pilihan disertai ilustrasi yang semoga mudah dipahami dan perbandingan keduanya.

Kontraktor Perseorangan

Apabila kontrak dilaksanakan oleh perseorangan, maka pajak-pajak yang akan terutang adalah sebagai berikut:

a. PPh Pasal 23

Dalam perpajakan, pembayaran yang akan diberikan kepada kontraktor perseorangan ini termasuk pemberian upah borongan yang diterima oleh orang pribadi. Karena kontraktor tersebut mempekerjakan orang lain dalam menyelesiakan proyek yang dibabankan tadi, maka atas pembayaran kepada pemborong ini masuk dalam kriteria objek PPh Pasal 23 bukan PPh Pasal 21. Kriteria objek PPh Pasal 23 adalah pembayaran kepada badan hukum atau perseorangan yang mempekerjakan orang lain dan objeknya masuk dalam list Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-70/PJ./2007 atau PP 51 Tahun 2008, per tanggal 1 Januari 2008. Dengan nilai kontrak sebesar Rp 3 milyar, maka PPh Pasal 23 yang terutang atas transaksi diatas adalah sebagai berikut:

Nilai Dasar Pengenaan Pajak (kontrak) : Rp 3.000.000.000,-

PPh Pasal 23 (stlh. Januari 2008) terutang : Rp 3.000.000.000,- x 4%

: Rp 120.000.000,-

Sesuai dengan PP 51 Tahun 2008, per tanggal 1 Januari 2008, pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki berkualifikasi usaha dikenakan tarif 4% dan bersifat final.

Biasanya, kontraktor orang pribadi tidak mau dipotong pajak, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Bila hal itu terjadi maka perusahaan harus melakukan gross up atau pajak yang terutang ditanggung oleh Perusahaan. Ini merupakan kerugian yang lebih besar.

b. PPN Masukan

Atas pembelian material untuk pembangunan gedung pabrik tersebut penjual material akan mengenakan PPN dengan tarif normal (10%). Pajak Masukan yang diperoleh perusahaan atas pembelian material untuk pembangunan pabrik tersebut tidak dapat dikreditkan. Dengan asumsi pembelian material adalah 60% dari nilai kontrak, maka PPN Masukan adalah (60% x Rp 3.000.000.000,-) x 10% = Rp 180.000.000,-.

c. PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Selain punya kewajiban memotong PPh Pasal 23, perusahaan juga wajib melakukan pembayaran PPN atas kegiatan membangun sendiri. PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah PPN yang dikenakan atas pembangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tanpa melalui kontraktor yang memiliki NPPKP dengan luas bangunan lebih dari 200 m2. Dasar hukumnya adala Pasal 16C ”UU PPN Tahun 1984”. Cara menghitung PPN atas kegiatan membangun sendiri ini adalah : Norma Perhitungan (40%) x Tarif PPN (10%) x Total Biaya yang Dikeluarkan untuk pembangunan (termasuk PPN waktu pembelian).

Jadi perhitungan PPN yang harus ditanggung adalah :

Nilai DPP : 40% x Rp 3.000.000.000,-

: Rp 1.200.000.000,-

PPN terutang : 10% x Rp 1.200.000.000,-

: Rp 120.000.000,-

Karena PPN atas Kegiatan membangun sendiri ini bersifat khusus, maka atas pembayaran pajaknya tidak dapat mengurangi PPN biasa.

Keuntungan dari penggunaan kontraktor perseorangan ini adalah :

a. Administrasinya simple dan mudah, karena hanya melibatkan perseorangan dan tidak memerlukan prosedur rumit serta birikrasi layaknya dalam perusahaan.

b. Hanya satu orang yang dipegang oleh perusahaan, yaitu kontraktornya yang juga pemiliknya.

Selain adanya keuntungan yang diperoleh diatas, maka terdapat kerugian pajak yang harus ditanggung oleh Perusahaan PMA tersebut.

a. Atas PPN Masukan yang diperoleh perusahaan atas pembelian material untuk pembangunan pabrik tersebut tidak dapat dikreditkan. Hal ini didasarkan pada Pasal 9 ayat 8 huruf b UU PPN tahun 1984 karena tidak berhubungan dengan kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Karena tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan yang dibayar tersebut, maka PPN tersebut akan dikapitalisasi sehingga menambah nilai asset gedung pabrik tersebut. Jika dengan nilai kontrak diatas dengan asumsi pembelian material adalah 80% dari nilai kontrak, maka kerugian PPN Masukan adalah Rp 180 juta.

b. Selain PPN yang tidak dapat dikreditkan diatas, Perusahaan juga masih dibebani dengan PPN atas kegiatan membangun sendiri sebesar Rp 120 juta. Pembayaran PPN ini diberikan secara cuma-cuma kepada pemerintah tanpa ada peluang untuk dikreditkan.

Kontraktor Badan Hukum

Apabila mempergunakan kontraktor berbadan hukum (PT, CV, dan sebagainya), maka pajak-pajak yang harus dipertimbangkan oleh Perusahaan adalah sebagai berikut:

  1. PPh Pasal 23

Sama dengan PPh Pasal 23 yang dikenakan pada kontraktor perseorangan diatas, maka atas pembayaran imbalan jasa konstruksi yang dilakukan kontraktor berbadan hukum juga terutang PPh Pasal 23. Sesuai dengan PP 51 Tahun 2008, per tanggal 1 Januari 2008, pelaksanaan konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang berkualifikasi usaha menengah dan besar dikenakan tarif 3% dan bersifat final. Apabila dihitung, PPh Pasal 23 yang harus dipotong perusahaan PMA tersebut adalah:

Nilai Dasar Pengenaan Pajak (kontrak) : Rp 3.000.000.000,-

PPh Pasal 23 (stlh Januari 2008) terutang : Rp 3.000.000.000,- x 3%

: Rp 90.000.000,-

Pengenaan PPh Pasal 23 tersebut bersifat final.

  1. PPN

Berbeda dengan semua PPN yang terutang bila berurusan dengan kontraktor perseorangan diatas, apabila mempergunakan jasa kontraktor berbadan hukum perusahaan PMA harus membayar PPN atas penggunaan jasa kontraktor. Nilai PPN yang harus dibayar adalah sebesar 10% dari nilai kontrak (Rp 3.000.000.000,- x 10% = Rp 300.000.000,-) dan dipungut oleh Kontraktor. Jangan khawatir, PPN yang dibayar ini dapat mengurangi PPN biasa yang terutang, jadi tidak hilang percuma begitu saja. Apabila setelah digabung dengan transaksi lainnya ternyata posisi PPN terutang perusahaan menjadi Lebih Bayar, maka atas kelebihan ini perusahaan PMA tersebut berhak diajukan restitusi atau meng-kompensasikannya ke masa pajak berikutnya yang berfungsi mengurangi pajak terutang bulan berikutnya tersebut.

Kalo mempergunakan kontraktor perseorangan perusahaan wajib membayar PPN atas kegiatan membangun sendiri, maka bila mempergunakan kontraktor berbadan hukum, perusahaan tidak perlu lagi membayar lagi PPN atas kegiatan membangun sendiri tersebut.

Perbandingan keduanya

Bila kita ikhtisarkan, maka perbandingan kewajiban pajak baik yang ditanggung oleh Perusahaan PMA dan dua kontraktor diatas adalah sebagai berikut:

Pajak

Perseorangan

Badan Hukum (BH)

Keterangan

PPh 23

Rp 120.000.000,-

Rp 120.000.000,-

Sesuai peraturan pajak dipotong dari Nilai Kontrak dan seharusnya ditanggung kontraktor

PPN Pembelian

Rp 120.000.000,-

Rp 300.000.000,-

PPN Masukan dari badan hukum lebih besar karena FP yang diterbitkan sesuai nilai kontrak.

PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Rp 120.000.000,-

-

Bila Badan Hukum tidak perlu bayar PPN atas KMS

Kredit Pajak

(Pengurangan)

-

Rp 300.000.000,-

PPN Masukan dari BH dapat dikreditkan.

Jumlah beban

Rp 360.000.000,-

Rp 120.000.000,-

% dari kontrak

12%

4%

Tentu pajak bukan hanya satu-satunya yang harus dipertimbangkan oleh investor dalam mengambi keputusan, namun ini dapat memberikan keringanan beban yang harus dipikul oleh pengusaha. Seperti Direktur perusahaan PMA tadi konon menurut salah satu karyawan bagain pajak malah memutuskan mengambil alternatif mempergunakan kontraktor perseorangan dibanding kontraktor berbadan hukum dengan alasan kedekatan pribadi.

Semoga bermanfaat, yang pasti pajak bukanlah hambatan berbisnis....!!!!

Fajar Budiman untuk JTS Consulting

Jakarta, 22 Agustus 2008

blogger templates | Make Money Online